Sepulang dari ngelesi matematika, tiba-tiba saya merasa iba dengan murid saya itu. Hari ini dia bersusah payah belajar memfaktorkan persamaan polinomial derajat dua. Menurut pengamatan saya dia sangat kesulitan, karena untuk mengalikan dua buah polinomial derajat satu saja belum tau caranya. Setengah perjalanan pertama sangat berat tapi kemudian kelihatan mukanya semakin cerah, ada tanda-tanda optimis.
Setelah itu saya beri PR banyak sekali, saya bilang buat latihan seminggu ya, tapi jangan sampai stress lho. Latihan banyak ini untuk mengasah keterampilanmu, tapi seandainya sampai di pertengahan sudah cukup ya tidak perlu dikerjakan semuanya. Lalu saya berikan ciri-ciri kapan dia boleh merasa sudah cukup latihan.
Oh pemuda ini kasihan sekali? Dia akan menghabiskan waktunya untuk mengutak-atik persamaan polinomial di tengah kesibukannya mencari kerja. Tapi di sisi lain saya juga kagum melihatnya. Anak lulusan SMA, ingin kuliah tapi terkendala dengan pelajaran tertentu. Keinginannya jadi arsitek membuat dia harus mengejar ketinggalan. Saya acungkan dua jempol untuk semangat belajarnya! Sebab belajar matematika di usia dewasa itu tidak mudah. Seberapa jauh dia akan melangkah, berapa lama dia akan bertahan? Semoga dia maju terus dengan tekun demi cita-citanya.
Bukan hanya matematika saja, secara umum belajar adalah suatu proses dari tidak tahu menjadi tahu, atau dari tidak bisa menjadi bisa. Di dalamnya ada unsur pengembangan, perbaikan, pembekalan, pemenuhan kebutuhan, atau apapun namanya yang saya singkat menjadi: peningkatan kualitas hidup. Ketika seseorang memutuskan untuk mempelajari sesuatu, berarti dia telah memutuskan untuk mengalokasikan waktu, pikiran, tenaga, mungkin biaya juga demi meningkatkan kualitas hidupnya dalam hal tertentu. Pertanyaannya, hal manakah yang akan dipelajari? Ada terlalu banyak pelajaran di dunia ini yang tidak mungkin diambil semuanya. Kita harus memilih, lalu memutuskan kapan dan bagaimana melakukannya.
Dalam kasus murid les saya tadi sudah jelas bahwa dia memilih untuk belajar matematika lebih banyak untuk memperlengkapi dirinya sebelum masuk kuliah arsitektur. Nah bagaimana dengan yang lain, yang bekerja sebagai perawat, dokter, ibu rumah tangga, pedagang bakso, montir sepeda motor, sales parfum, penerjemah dan sebagainya. Seberapa banyak ilmu matematika yang perlu dipelajari untuk itu? Seberapa matematis harusnya seseorang berpikir? Melihat kebutuhan yang berbeda-beda, menurut saya kita sesuaikan saja porsi masing-masing dan tidak perlu memaksakan diri melakukan sesuatu seperti orang lain.
Oh ya, saya menulis artikel ini bukan dalam rangka menentang belajar matematika lebih banyak. Kadang ada orang yang melakukannya sebagai hobi, dan di kemudian hari ternyata hobi itu bermanfaat. Dan saya akan tetap senang membantu orang belajar matematika :)
Nah, sepertinya kok menarik juga ya mengetahui pandangan orang lain tentang ini. Saya tulislah di beberapa tempat di facebook pertanyaan ini: Apakah belajar matematika akan meningkatkan kualitas hidup seseorang atau malah bikin sumpek dan menurunkan kualitas hidupnya?
Dan... inilah berbagai respon saya dapatkan!
Terima kasih para responden! Saya hargai setiap respon yang diberikan.Oh pemuda ini kasihan sekali? Dia akan menghabiskan waktunya untuk mengutak-atik persamaan polinomial di tengah kesibukannya mencari kerja. Tapi di sisi lain saya juga kagum melihatnya. Anak lulusan SMA, ingin kuliah tapi terkendala dengan pelajaran tertentu. Keinginannya jadi arsitek membuat dia harus mengejar ketinggalan. Saya acungkan dua jempol untuk semangat belajarnya! Sebab belajar matematika di usia dewasa itu tidak mudah. Seberapa jauh dia akan melangkah, berapa lama dia akan bertahan? Semoga dia maju terus dengan tekun demi cita-citanya.
Bukan hanya matematika saja, secara umum belajar adalah suatu proses dari tidak tahu menjadi tahu, atau dari tidak bisa menjadi bisa. Di dalamnya ada unsur pengembangan, perbaikan, pembekalan, pemenuhan kebutuhan, atau apapun namanya yang saya singkat menjadi: peningkatan kualitas hidup. Ketika seseorang memutuskan untuk mempelajari sesuatu, berarti dia telah memutuskan untuk mengalokasikan waktu, pikiran, tenaga, mungkin biaya juga demi meningkatkan kualitas hidupnya dalam hal tertentu. Pertanyaannya, hal manakah yang akan dipelajari? Ada terlalu banyak pelajaran di dunia ini yang tidak mungkin diambil semuanya. Kita harus memilih, lalu memutuskan kapan dan bagaimana melakukannya.
Dalam kasus murid les saya tadi sudah jelas bahwa dia memilih untuk belajar matematika lebih banyak untuk memperlengkapi dirinya sebelum masuk kuliah arsitektur. Nah bagaimana dengan yang lain, yang bekerja sebagai perawat, dokter, ibu rumah tangga, pedagang bakso, montir sepeda motor, sales parfum, penerjemah dan sebagainya. Seberapa banyak ilmu matematika yang perlu dipelajari untuk itu? Seberapa matematis harusnya seseorang berpikir? Melihat kebutuhan yang berbeda-beda, menurut saya kita sesuaikan saja porsi masing-masing dan tidak perlu memaksakan diri melakukan sesuatu seperti orang lain.
Oh ya, saya menulis artikel ini bukan dalam rangka menentang belajar matematika lebih banyak. Kadang ada orang yang melakukannya sebagai hobi, dan di kemudian hari ternyata hobi itu bermanfaat. Dan saya akan tetap senang membantu orang belajar matematika :)
Nah, sepertinya kok menarik juga ya mengetahui pandangan orang lain tentang ini. Saya tulislah di beberapa tempat di facebook pertanyaan ini: Apakah belajar matematika akan meningkatkan kualitas hidup seseorang atau malah bikin sumpek dan menurunkan kualitas hidupnya?
Dan... inilah berbagai respon saya dapatkan!
- Kalau cuma belajar malah bikin sumpek dan menurunkan kualitas hidup. Tapi kalau proses dan hasil belajarnya 'dimanfaatkan' dengan tepat bisa meningkatkan kualitas hidup.
- Hidup untuk belajar vs belajar untuk hidup :)
- Kalau tau tujuan setidaknya bisa bikin sumpek hilang dikit Mbak hehe
- Smua ilmu sangatlah bermanfaat..itulah sebabnya ilmu matematika ada dan dkembangkan..masalahnya"bagaimana cara guru mengajarkannya.." Dsitulah kesumpekan ato kegembiraan berada..pilihan ada pd para pentransfer ilmu..wkwkwk( sok bijak nie...heeheehE )
- Relatif tergantung individu nya, bisa tidak memanfaatkn semua ilmu yg dia punya
- Kwalitas hidup tidak dipengaruhi IPA,MATEMATIKA atau yang lainnya. Tapi,,,,,pola berpikirnya ala ilmu-ilmu itu. Analisa sesaatku,,,,,,,, kalau ada yang lain aku mau mencontoh, sperti anak-anak
- matematika/ipa/ips bukanlah kunci berkualitas atau tidaknya seseorang,, yang menentukan adalah seberapa besar mental seseorang untuk memahami kegagalan dan kesuksesan dalam hidupnya. otomatis kualitas itu akan muncul dgn sendirinya...tlong jangan ada dikotomi antara ilmu2 yang ada,
No comments:
Post a Comment