31 December 2013

Gara-gara demo

Hiruk-pikuk saat jam istirahat sudah biasa. Tapi ada yang menarik hari ini, karena beberapa anak berkumpul di ruang OSIS dengan muka serius. Aku kebetulan lewat dan tertarik mengikuti perbincangan mereka. Kalau biasanya anak-anak memanfaatkan ruangan kecil itu untuk ngerumpi di jam istirahat, saat ini mereka lebih kelihatan seperti rapat terbuka.

Sinta memimpin rapat itu dengan sangat cerdas dan cekatan. Ide-ide dari teman-teman dikumpulkannya dan segera dibuatnya keputusan penting hari itu. Aku pun setuju dengan dia, dengan mereka semua. Walaupun cuma mendengar beberapa kalimat terakhir, tapi aku cukup kenal dengan isu yang satu ini. Jadi ceritanya, kami akan mengadakan aksi protes terbuka pada kepala sekolah.

Selama ini berbagai kelompok siswa di sekolah sudah silih berganti mengajukan berbagai pertanyaan, keberatan, protes-protes tapi tidak pernah ditanggapi dengan serius oleh pihak sekolah. Setiap permintaan untuk bertemu dengan kepala sekolah juga tidak pernah dikabulkan. Mereka selalu bilang Bapak Kepsek sedang sibuk. Aduh... sibuk apa sih Bapak Kepsek? Kami kan juga bagian dari urusan Anda, kok nggak dikasih waktu?

Oh ya, sebagai tambahan informasi, Bapak Kepsek kami ini masih muda, ganteng, dan selalu tampil necis. Kalau dia tersenyum, oh... mana tahan... cewek-cewek bisa kelimpungan mau menangkap senyumnya. Orang bilang dia lebih cocok jadi artis dari pada jadi kepala sekolah.

Nah kenapa kok kami mau memprotes beliau? Bukan karena gantengnya, tapi karena cueknya dia terhadap kami. Sudah bertahun-tahun siswa dari berbagai angkatan mengajukan keberatan dengan biaya sekolah yang sangat mahal sedangkan kualitas pendidikan tidak diberikan sebagai mana seharusnya. Guru-guru tidak kompeten mengajar, fasilitas sekolah sangat sedikit dan sudah usang. Masa sih Bapak Kepsek tidak tahu? Ke mana saja Bapak Kepsek??


“Kriiiing...” Bel usai jam istirahat berbunyi, anak-anak berlarian kembali ke kelas masing-masing kecuali kami yang di ruang OSIS. Sekitar 20-an orang, termasuk aku, justru berjalan menuju kantor kepala sekolah. Berharap kalau datangnya rombongan begini tidak bisa ditolak. Hehe.. kan gitu ceritanya kalau mau demo, harus bawa teman yang banyak.

Kantor kepala sekolah terletak di lantai dua gedung paling depan dengan tangga naik langsung ke ruangan itu. Kami melaporkan kedatangan kami pada Ibu yang bekerja di kantor Kepsek dan diminta menunggu di luar saja, di halaman. Kami terus mendongak ke atas menantikan sosok Bapak Kepsek, panas terik pun tidak apa-apa. Kali ini kami memang sudah nekad tidak akan kembali ke kelas sebelum Bapak Kepsek menanggapi kedatangan kami dengan sungguh-sungguh.

Setelah agak lama menunggu, akhirnya muncul juga Bapak Kepsek dari kantornya. Dengan senyumnya yang aduhai, dia melangkah keluar dari pintu, berjalan cepat menuruni tangga sambil mengenakan jaket hitam semi jas. Kereeeen banget, harus kuakui itu! Kami juga lega karena akhirnya beliau bersedia ditemui. Tapi, lho, kok?? Bapak Kepsek terus berjalan melewati kami sambil menebar senyum manis, lalu keluar dari pintu gerbang sekolah. Lho??

Ini sudah keterlaluan!!!!! Perlakuan Bapak Kepsek barusan menjadi konfirmasi untuk kami melanjutkan ke rencana berikutnya: membakar gedung sekolah. Oops, jangan salah sangka ya, kami bukan akan membakar seluruh gedung sekolah. Kalau dibakar nanti akan semakin sulit situasinya, mau belajar di mana?

Malamnya, kami berkumpul lagi di halaman sekolah. Memandang ke atas, ke kantor Kepsek, dan membulatkan tekad untuk melakukan tindakan ekstrim. Kami berjalan menuju bagian belakang sekolah dengan membawa beberapa obor. “Oke, kita sudah siap. Ingat ya, cuma dapur sekolah.” Obor-obor itu disulut, dan mulailah kami membakar bangunan dapur itu dengan sangat berhati-hati.

Kenapa dapur sekolah? Karena ini adalah bangunan usang dan kotor yang setiap harinya digunakan untuk memproduksi makanan di lingkungan sekolah. Tidak ada instalasi listrik, dan posisinya terpisah dari gedung-gedung yang lain. Kami anggap aman dari resiko api merambat ke gedung lain.

Yah, kami sudah selesai. Tinggal tunggu bagaimana reaksi para pejabat sekolah, masyarakat sekitar atau bahkan masyarakat yang lebih luas. Biar saja kalau nama sekolah ini harus jatuh gara-gara demonstrasi keras ini, demi perbaikan di kemudian hari kok. Selesai menyulut, kami beristirahat di dalam kelas terdekat dari dapur sekolah. Dari situ bisa kami pantau dengan jelas bagaimana bangunan tua itu terbakar. Kami pun mulai tertidur.


Hari sudah pagi ketika aku terjaga. Ruang kelas sudah terang terkena sinar matahari dari jendela. Teman-temanku masih enak melungker di kursi-kursi dan meja, sebagian bergeletakan begitu saja di lantai. Tapi ada yang janggal. Kenapa kok sepi sekali??

Aku melompat turun dari meja, merapat ke jendela untuk mengintip dapur sekolah. Andre, teman sekelasku juga terbangun dan membuka pintu. Dari pintu bisa lebih jelas melihat bangunan itu. Apinya sudah padam, gedungnya sudah jadi puing-puing hitam. Semuanya sudah selesai tapi tidak kelihatan ada keramaian orang sama sekali. Masa orang yang tinggal di kampung sekitar pun tidak ada yang tahu soal kebakaran ini? Terlalu kecilkah pembakaran yang kami lakukan? Bagaimana dengan Bapak Kepsek dan pejabat sekolah yang lain, apakah aksi ini juga tidak berarti?

Ada seorang ibu lewat di gang belakang sekolah, pas sekali dekat jendela kelas. Buru-buru kupanggil dengan kencang karena jendela kaca belum sempat dibuka. Ibu itu menoleh, tapi dia tidak menjawab, bahkan langkahnya makin cepat meninggalkan kami. “Apa nggak kedengeran?” gumamku. “Denger kok, wong dia noleh gitu lho.” Jawab Sinta, yang langsung bangun dan ikut mengamati situasi di gang. Sepi... sekali.

Teman-teman yang lain pun satu persatu mulai terbangun dari tidur dan ikut melihat ke luar. “Hm.. nggak ada apa-apa tuh, di luar sepi.” Ini janggal sekali, apa yang sudah terjadi?

Andre memungut serpihan koran di bawah meja paling ujung dekat pintu. Kotor, yang terbaca cuma kalimat ini: “Dilarang mempertanyakan mengapa dan ada apa di balik peristiwa kebakaran di SMP Pelita Menyala.” Hm, naluri investigasi kami mulai menajam. Kenapa ditutup-tutupi? Ayo keluar cari tahu!
Kami pergi berkelompok, masing-masing dua atau tiga orang. Aku bersama Andre. Pertama kami meninjau dapur sekolah yang sudah terbakar habis. Hangus di mana-mana. Tapi tidak ada bekas-bekas usaha pemadaman sama sekali. Misalnya air atau peralatan apalah gitu. Jadi, kemungkinan besar api padam sendiri setelah semalaman kami tinggalkan. Ck, ck.. Pihak sekolah pun belum ada yang nongol?

Lalu kami berjalan menyusuri gang-gang kecil di sekitar sekolah. Orang-orang yang berpapasan dengan kami bersikap seperti tidak ada apa-apa. Tidak menyapa atau bertanya sedikitpun. Bahkan mereka seperti tidak menganggap kami ada. Bah, kami dicukein seperti angin lalu! Harus lebih proaktif nih.

Andre berjalan mendekati seorang pemuda yang sedang makan sambil berdiri di tepi gang, dia sudah bersiap-siap akan bertanya dengan sopan. Tapi aku melihat ada kejanggalan. Senyumnya tidak dibalas oleh pemuda itu, bahkan sampai dia sudah agak dekat pun orang itu masih melihat ke arah jauh. Dia itu tidak melihatnya! OMG, aku mencium sesuatu yang amat-sangat tidak beres. Dan benar, dia berjalan pergi sebelum Andre sempat menyapanya.

Kususul temanku yang masih melongo shock karena dicuekin, “Hei udahlah nggak pa-pa. Kayaknya aku menemukan sesuatu.” “Apa?” tanya Andre sedikit ketus dan meluapkan kejengkelannya padaku, “Orang-orang nyalahin kita? Kita yang salah, sementara Kepsek korup enggak pernah salah?” umpatnya mulai mengomel.

“Bukan, bukan itu yang kupikirkan sekarang.” jawabku berusaha menenangkan. “Heh, coba deh kamu tabrak orang itu.” Kutunjuk dua gadis remaja sedang asyik mengobrol.
“Ngawur kamu!” bantahnya cepat.
“Ya udah kalau nggak mau.” Aku pun diam. Tidak ingin memaksa, tidak ingin berdebat. Pikiranku dipenuhi dengan hipotesis yang baru saja muncul di kepala. Yang harus kulakukan sekarang adalah mencari tahu apakah dugaan itu benar. Akan kucoba sendiri saja. Kutunggu dua anak perempuan itu berjalan ke arahku, tapi aku tidak akan memberinya jalan. Kalau mereka mau menabrakku, silahkan saja. Itu yang kucari.

Dua orang itu semakin dekat, semakin dekat, lalu yang seorang melempar sampah ke arah Andre dan... oops! Luput. Benda itu tidak mengenai tubuh Andre, tapi melewatinya. Apa? Melewatinya! Maksudnya, menerobosnya! Menembus, iya menembus badan Andre! Air muka Andre langsung berubah tegang. Dia pun melihat langsung bagaimana dua anak itu melewatiku, ehm, menembusku. Kami berpandang-pandangan sekejap. Aaaaaaaah!!!!! Hipotesaku betul, ternyata betul kami sudah tidak seperti yang dulu lagi!

Kembali ke kelas, teman-teman yang lain juga menceritakan pengalaman yang sama. Ada yang senang, ada yang sedih. Lho, bagaimana mungkin ada yang bersenang-senang dengan keadaan seperti ini? Inilah beberapa komentar yang kuingat:
“Ah nggak seburuk itu kok, setidaknya kita kan tetap bersama.”
“Iya, aku sih seneng-seneng aja masuk klub hantu, hihihi!”
“Dan yang asyik lagi, adalah gaya belanja kita. Nggak perlu bayar! Masih bisa makan Indomie...”

Di antara kebingungan ini, tiba-tiba ada yang membuat pikiranku seperti mau meledak, “Aduuh udah berapa lama aku nggak pulang ke rumah!?!!” teriakku ketakutan. Tentu saja itu mengganggu mereka. “Kamu kayak anak kecil deh, nggak pulang semalem aja udah bingung.”
“Bukan gitu, tapi Papa-Mamaku kan kasihan.” Aku bilang begitu, karena ada hal lain yang sedang kupikirkan. Hipotesa kali ini adalah: kami sudah terjebak cukup lama di tempat ini. Tapi berapa lama?

“Tanggal berapa hari ini?” tanyaku bertambah cemas. Seketika ruangan pun senyap. Tidak ada yang berani bicara lagi. Kurasa saat itulah teman-temanku menyadari apa yang kupikirkan. Kejadian pembakaran itu bukan baru semalam, tapi jauh lebih lama dari pada itu. Semuanya saling memandang. Gelisah.

Aku dan Andre kembali keluar untuk mencari tahu lebih banyak lagi tentang apa yang terjadi. Kami pergi ke kios koran, melongok baik-baik ke tumpukan koran pagi dan terbelalak. Tepat satu tahun setelah hari kemarin! Kami tertidur di kelas selama setahun?!

Judul utama koran pagi ini adalah: Mengenang satu tahun demonstrasi beracun. Dua puluh enam siswa-siswi tewas di tempat setelah menghirup gas beracun dari gedung yang terbakar. Aib Sekolah Menengah Pelita Menyala terkuak, dan sekolah dipaksa tutup setelah terbukti korupsi dan dianggap tidak layak menyelenggarakan pendidikan. … dan seterusnya. Aku tidak ingin membacanya lagi. Cuma ingin pulang... mau ketemu Papa, Mama... huhu...


Catatan: 
Cerita ini adalah fiksi. Jika ada kesamaan nama, tempat dan peristiwa maka itu adalah kebetulan saja.

Kuiz: 
Coba tebak, si pencerita ini (orang pertama) cowok atau cewek? Bagaimana kamu tahu itu?

1 comment:

  1. Cewek! Dari pernyataan ini: "Bapak Kepsek kami ini masih muda, ganteng, dan selalu tampil necis. Kalau dia tersenyum, oh... mana tahan..."

    Ga yakin ada cowok yg bilang kyk gitu. Apalagi, dia berani menguji tebakannya dg menabrak dua cewek. Iya kalo bener? Kalo ga gimana hayo? Apa g ditampar itu orang? Hehehe

    ReplyDelete