13 April 2017

Nge-boat-trip Trondheim-Kristiansund-Trondheim dalam sehari


Hari ini puas nge-trip seharian dari pagi sampai malam. Rute Trondheim-Kristiansund-Trondheim dengan kapal ternyata asyik banget, kenapa ya baru tahu pas saat-saat terakhir tinggal di sini. Bikin planningnya pun nggak pake lama, cukup melamun beberapa saat, kok...liburan ngaplo ya.. ke mana ya... orang-orang di Facebook sudah heboh ke-mana-ke-mini, kita masih manyun nungguin visa masuk ke UK belum keluar juga. Paspor pun tak ada di tangan, jadi pilihan liburan harus dalam negeri saja. Padahal, liburan dalam negeri itu berarti mahaaaal. Karena negerinya adalah negeri Norwegia yang konon penduduknya sangat bahagia itu.

Alhasil, dari hasil melamun suamiku, lalu kami diskusi dikit, tengok website transport lokal Trondheim, jadilah kami memutuskan naik kapal. Ada beberapa rute dari Trondheim ke pulau-pulau lain di sekitaran sini, tapi kelihatannya kok pulau-pulau sepi. Kayaknya bukan gaya kita deh menikmati alam atau kemping, mancing, dll. Ya sudah cari kota-kota saja, dan yang menarik adalah rute Trondheim menuju Kristiansund. Jarak tempuh 3 jam 30 menit, dengan berhenti 8 kali selama perjalanan.

Demi menghemat, berhubung kali ini liburan di dalam negeri, kami tidak ingin menginap di hotel. Note: hotel di Norwegia tarifnya bikin orang ngantuk nggak jadi ngantuk. Jadi ambil jadwal kapal pagi jam 08:10 dan kembali sampai di Trondheim lagi jam 20:00. Cukuplah buat capeknya, dan cukup juga buat city-tour, karena Kristiansund kan sebuah kota kecil mungil saja.

Hemat yang lain lagi adalah karena kami pergi bersama sebagai keluarga, maka bayar satu-setengah tiket saja. Inilah hebatnya kebijakan transportasi publik, sangat pengertian dengan kondisi ekonomi keluarga. Orang dewasa pertama bayar penuh, orang dewasa ke dua bayar separuh, dan semua anak yang ikut juga bayar separuh tiket anak. Berhubung anak kami masih di bawah 4 tahun, gratis deh. Jadi, untuk bertiga cuma bayar satu setengah, bandingkan kalau naik pesawat berarti bayar tiga tiket. Anak 3 tahun paling diskon 10% tok, ya iyalah... pesawat kan bukan transportasi publik bersubsidi. Info harga tiket boleh lihat di sini.

Petualangan pun dimulai. Bahkan perjalanan sesederhana ini pun bisa jadi petualangan buat kami, ya ampun...ngapain aja selama ini. Ya soalnya belum pernah sih naik kapal begituan. Satu-satunya saya naik kapal cuma ferry-ferry aja, yang buat penyeberangan. Surabaya-Madura sebelum ada jembatan Suramadu, Ketapang-Gilimanuk hampir 20 tahun yang lalu, dan satu kali naik kapal wisata jurusan Gdansk-Sopot cuma sejam saja. Nah kalau yang ini, ini beneran kapal transportasi publik. Yang bisa dibilang alternatif bus, atau bahkan pesawat. Kapalnya biasa aja, nggak pakai banyak gaya dan hiasan, karena bukan kapal pesiar. Yang penting aman, nyaman, bersih, tepat waktu.

Pertama kapal berangkat, goyangannya besar kena ombak. Selain itu, kapal masih harus putar haluan dulu untuk keluar dari dermaga. Wah, saya kok pusing banget ya, gimana kalau 3,5 jam begini, dan si anak juga nangis kenceng sambil protes, "Nggak suka naik kapal! Mau turun sekarang...hu hu..." waduh, piye rek, wes kadung budal. Apa ya ganti acara, kita berhenti di setopan pertama aja ya? Kan mumpung belum bayar tiket. Diskusilah kami, 10 detik, lalu putuskan, wes lanjut aja... sambil cengar-cengir lihat anak masih nangis. Ini memang ortunya yang kurang piknik, anak terpaksa ikut petualangan.

Ternyata, cuma sekitar 15 menit pertama kapal berjalan pelan. Begitu masuk di jalur yang agak longgar, kapal melaju cepat sekali. Waduh, pantesan kapal ini disebut hurtigbÄt, alias kapal cepat. Jadi ya, udah ditambah 8 berhenti selama perjalanan, masih juga lebih cepat dari bus. Dengan bus, akan memakan waktu 4 jam 35 menit, kata website ini. Memang sih bus antar kota pasti lebih sering berhenti di sepanjang perjalanan, dan rutenya lebih berkelok-kelok, harus berhenti di lampu merah, tapi kan kapal itu berhentinya lebih lama. Ngeremnya aja lama, ngepasin dulu singgah di dermaganya, lalu penumpang turun dan naik, lalu putar haluan, keluar dari dermaga pelan-pelan, sambil melewati pulau-pulau kecil sebelum akhirnya bisa melaju cepat lagi. Kesimpulan saya, hurtigbÄt ini memang jos banget deh. Pantas dipilih untuk masyarakat yang butuh transportasi massal antar pulau. Maka orang yang tinggal di pulau-pulau kecil, mereka pun tidak terpencil.



Pilihan bagus juga untuk jalur antar kota yang hubungan daratnya terlalu rumit, misalnya ya di Norwegia ini. Hampir semua, atau setidaknya sebagian besar jalan darat antar kota di Norwegia ini dibangun dengan menaklukkan gunung-gunung batu. Tak heran kalau rutenya jadi sering belok, naik-turun, dan kadang pun masuk terowongan. Di musim dingin lebih lagi, ada extra tantangan yang harus masuk hitungan: salju, salju tebal, atau es. Maka, lagi-lagi, transportasi air jadi lebih menarik. Eh nggak tau ya, bener nggak secara umum begitu? Ini kan baru imajinasi saya yang baru sekali naik kapal antar kota. Ah, saya memang suka berimajinasi, alias tukang melamun. Jadi teringat pada tanah airku Indonesia, yang terdiri dari ribuan pulau. Kalau transportasi laut baik, maka orang yang tinggal di pulau-pulau kecil tidak akan terpencil. Karena keterpencilan terjadi, hanya jika ada ketidak-terhubungan. Nah lo, dari pada membaca imajinasi saya tambah panjang, mendingan kita nikmati bersama hasil dari kamera sederhana kami selama perjalanan hari ini.

  

08 January 2016

No or Yes?

Ini ceritanya tentang teman saya, sesama orang rantau di Trondheim. Dia datang dari Beijing karena ikut suaminya. Nah suaminya itu ya persis kayak suami saya waktu itu, sama-sama sedang studi PhD di NTNU. Persis kan situasinya? Yang bikin kami tambah cocok lagi, adalah karena kami sama-sama nggak bisa Bahasa Inggris. Nah gimana kami bisa berteman? Ya karena merasa senasib itu, makanya jadi memelihara toleransi tingkat tinggi.

07 January 2016

Kursus presentasi buat yang grogian

Baru saja hari ini selesai ikut kursus Facing the Speech Anxiety di kampus. Dari judulnya sudah ketahuan, bahwa ini untuk melatih orang berpidato atau presentasi, dan targetnya adalah mahasiswa yang grogi bicara di hadapan umum. Nah pas banget nih, saya suka grogian. Lebih-lebih kalau situasinya formal, dan bahasa asing pula!

Salt, sugar and flour

Mengingat kembali kisah lama. Ini kejadiannya 5,5 tahun yang lalu, momen awal settle down di Trondheim. Sebelumnya tidak pernah ke luar negeri dan tidak pernah dalam situasi harus berbahasa Inggris. Jadi sama sekali enggak gampang untuk merasa betah tinggal di sini. Nggak kebayang gimana harus tinggal di sini selama 4 tahun.

Setelah semingguan menahan diri, akhirnya jadi juga pergi belanja ke toko. Wong tinggal bawa barang ke kasir, kasih duit, terima kembalian, beres. Keciiiil. Paling banter bilang thank you. Percobaan pertama, beli gula pasir. Soalnya nggak bisa minum teh kalau nggak ada gula. Gula kan sugar to? Gampaaang. Tapi kok ya tidak berhasil ya? Hehe... setelah muter-muter toko, dari rak-ke-rak, enggak ada tuh keliatan gula pasir. Nggak ada juga bungkusan yang namanya sugar. Pulang deh :P

Percobaan ke dua, rada cerdas dikit. Saya bawa catatan berisi 2 kata: sugar, sukker. Barangkali aja namanya memang harus dalam bahasa lokal. Nah bener, ketemulah sukker itu, yey! Ini lho yang saya beli itu: gambar 1. lihat deh di bagian kiri atas ada namanya Dan sukker. Bener kan ya? ENGGAK. Karena ternyata ini adalah gula tepung. Dikasih ke dalam cangkir, cuma mengambang di permukaan. Tehnya jadi aneh, kopinya jadi aneh, hiiii nggak enak! Eh tapi nggak pa-pa, yang penting manis :) Menghibur diri.

Percobaan ke tiga, beli garam. Garam itu kan salt ya? Ternyata di Bahasa Norwegia juga salt. Sama, gampaaang. Maka dicarilah yang namanya salt dari rak-ke-rak. Terus saya ketemu ini: lihat gambar 2. Garam cap menjagan, dan menjangan ada tanduknya, makanya namanya horn salt. Yey! Dapat garam dalam satu kali percobaan, luar biasa, bisa masak! ENGGAK. Sampai di rumah, baru tahu teksturnya beda dengan garam yang saya kenal. Saya cicipi sedikit, huek!! Rasanya bukan asin, tapi aneh seperti meledak di lidah saya. Coba tanya pak Google lagi, ealah, ternyata hornsalt adalah sejnis pengembang kue. Oops.

Oke deh, kayaknya malah klop ya, udah punya gula halus, punya pengembang adonan, tinggal cari tepung, bikin kue! Nah tanya lagi sama pak Google, apa itu tepung? Jawabnya: mel. Kalau nggak percaya coba aja di komputer masing-masing. Saya pergi bawa catatan, cari benda yang namanya mel. Lalu ketemulah saya sama bungkusan ini: lihat gambar 3. Apa ini tepung seperti yang saya harapkan? BUKAN. Ini sih sejenis havermut gitu. Ya udahlah, udah terlanjur dibeli. Boleh juga bikin kue pakai ini.

Barang yang terbeli memang tidak terbuang, tapi betapa saya sudah membuang waktu untuk hal sesederhana ini. Saya benar-benar tidak ingin memulai percakapan dengan orang sedikitpun. Misal nih ya, saya tunjukkan catatan saya, terus, gimana kalau orang itu tanya-tanya, atau ngajak ngomong? Kan saya nggak bisa jawab? Nah, bingung kan? Makanya, dari dulu sih kalau disuruh belajar jawabannya selalu:  Kenapa belajar Bahasa Inggris?

Ah, nasi sudah menjadi bubur. Dan sekarang punya kenangan makan bubur :)
Ada cerita lain dari teman saya, sesama rantau yang tidak bisa berbahasa Inggris. Kejadiannya juga di toko yang sama. Ditulis di halaman berikutnya aja yah biar nggak kepanjangan di sini.





Ikutan hackathon

Setelah kursus Facing the Speech Anxiety, lalu presentasi betulan hasil kerja matematika di kelas, di hadapan scientist, dan sekarang baru saja mengikuti program 24-hour hackathon-style climate change event. Lagi-lagi, hal biasa bagi orang lain, tapi bagiku adalah kemajuan luar biasa. Ini masih menyambung cerita sebelumnya bagaimana aku sungguh-sungguh berjuang dalam hal berbahasa Inggris.

Pagi ini, aku datang dengan pikiran hanya untuk mendengarkan saja. Tapi, rencanaku terganggu. Panitia mengatakan: When you are listening, you are not listening to understand it, but to reply. Nah lo, padahal kebiasaanku adalah berusaha mendengarkan dan memahami apa yang orang lain katakan. Apalagi ini mngenai hal yang begitu teknis, bagaimana menemukan solusi untuk masalah emisi dan penggunaan energi. Bisa ngerti aja udah bersyukur!

Oke, mari mencoba. Lakukan, bukan hanya oh ya nanti kucoba. Tapi ya sekarang juga. Memulai dengan mendengarkan dengan seksama, dan sesekali menanggapi 'Oh I see' atau 'That's true' atau 'I agree' atau cuma bilang 'wow' sambil kasih jempol. Hmm, gitu aja juga nggak gmpang lho, karena harus ngerti betulan, bukan sekedar celometan dengan mantra-mantra itu tadi. Lalu kan katanya komunikasi yang baik dengan memberi tanggapan. Tanggapan bisa berupa menambah data, menyanggah, atau bertanya. Ya sudah aku bertanya saja.

Sebenernya aku sangat malu bertanya. Nanti pertanyaanku akan terlalu sederhana, bahkan bodoh, karena jangan-jangan akan menanyakan hal yang baru saja dikatakan, yang aku kelewatan waktu mendengarkan. Karena, ya, mereka itu kadang kalau ngomong silih berganti sahut-sahutan cepat sekali aku tidak bisa ingat betul. Tapi ingat nasihat instruktur di kursus, 'There is no stupid question. A question is a question. Just ask.' 'People are happy if you ask.' Oke, aku pun mulai bertanya, dan setelah sedikit saja bisa masuk ke dalam diskusi, langsung aku menemukan di mana aku bisa berperan. Yaitu menuliskan apa yang mereka bicarakan. Karena rekan di kelompok kerjaku adalah 5 orang pria yang semuanya punya ide cemerlang, punya pengalaman kerja di bidangnya masing-masing, dan mereka sibuk bertukar ide sehingga ide-ide bagus bertaburan di kepala dan mulut kami, tapi tidak ada seorang pun yang mengumpulkannya.

Ini bukanlah pekerjaan gampang. Mengikuti pembicaraan saja aku sulit. Memberikan opini lebih sulit, apalagi sekarang mau menawarkan diri mencatat diskusi. Sungguh itu adalah suatu titik di mana aku menantang diriku sendiri untuk: Bangun! Kalau tidak sekarang mau kapan bangun? Oke, kalau tidak pintar maka harus cerdas memilih strategi. Strategi yang kupakai adalah, mempersilahkan mereka menuliskan ide masing-masing di sticky notes, lalu aku membuat template dengan kategori tertentu, lalu menempelkan tulisan mereka berdasarkan kategori yang kusediakan. Yey! Aku bisa berkontribusi! Dengan membuat kategori, dan kami pakai itu selama brainstorming, bahkan sampai pada saat membuat design prototype untuk ide kami.

Akhirnya, aku pun pulang meninggalkan mereka ketika sedang membuat design prototype. Nggak kuat lagi, kepala udah pusing dan badan udah lemes. Kami sudah mengikuti event itu dari jam 10 pagi. Jam 8 malam aku putuskan untuk pulang. Mereka tinggal 4 orang dan akan kerja sampai besok pagi. Ini memang event 24 jam. Sesungguhnya aku masih sangat bersemangat. Karena mereka mulai mendownload data dari berbagai sumber, dan mulai membuat model untuk membandingkan data tersebut. Aduuuh... itu kan kesukaanku. Ya sudahlah. My brain just stopped working, sorry.

Pingin juga sih lihat bagaimana acara besok pagi, ada acara berenang, di fjord, jam 6 pagi di musim dingin, -9 derajat Celcius. Mau berenang gimana?! Nah itu yang pingin kutau. Tapi ya udahlah, pulang deh, istirahat, demi jaga kesehatan.

16 August 2015

Renungan Hari Kemerdekaan, 17 Agustus 2015

Posting kali ini ditulis oleh suamiku untuk renungan hari kemerdekaan, 17 Agustus 2015.
Selamat merenungkan!

Orang yang mencuri, janganlah ia mencuri lagi, tetapi baiklah ia bekerja keras dan melakukan pekerjaan yang baik dengan tangannya sendiri, supaya ia dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan.(Efesus 4:28). Silahkan teman-teman membaca secara lengkap juga ayat 17-32

Hal yang nampaknya ‘sederhana’ ini, sebenarnya sangat penting, sehingga di ayat 17 Paulus mengatakan: Sebab itu kukatakan dan kutegaskan ini kepadamu di dalam Tuhan. Ayat ini adalah bagian dari petunjuk pelaksanaan (juklak) yang down to earth J’ bagi orang percaya, yang tertulis di ayat 25-32. Sedang ayat 17-24 adalah bagian yang up to heaven J yang merupakan pondasi dari ayat 25-32, mengapa kita melakukan hal-hal tersebut. Kita melakukan hal ini karena kita bukanlah: orang-orang yang tidak mengenal Allah dengan pikirannya yang sia-sia (ayat 17).
Saya pikir pernyataan Paulus tersebut sudah sangat jelas, janganlah ia mencuri. Mencuri = klepto ( bahasa Yunani berarti mengambil secara diam-diam/tanpa diketahui orang lain, dipakai juga dalam istilah kleptomania). Apa saja bisa dicuri, misalnya barang, uang, dan waktu. Salah satu jenis mencuri yang populer saat ini saya pikir adalah korupsi. Korupsi adalah memanfaatkan dengan tidak semestinya (mengambil tanpa ketahuan=mencuri) sumber daya yang dimiliki oleh suatu institusi untuk kepentingan pribadi. Saya tidak perlu memberikan data di sini, teman-teman sudah tahu bahwa korupsi adalah salah satu masalah yang parah di negara kita. Sebagai alumni di tempat kerja kita masing-masing, dengan tidak melakukan korupsi di antara rekan-rekan kerja yang korup, saya kira sudah menjadi sedikit terang di tengah kegelapan. Apalagi kalau kita berani menentang praktek korupsi yang terjadi.
            Larangan itu disertai dengan perintah ‘baiklah ia bekerja keras dan melakukan pekerjaan yang baik dengan tangannya sendiri’. Bekerja keras = kopiao (bahasa Yunani yang berarti bekerja dengan usaha yang bisa membuat orang merasa lelah atau bosan). Di sini saya pikir Paulus menekankan pada berusaha dengan ketekunan dan keuletan. Paulus tidak ‘ngomong doang’ tentang hal ini. Dia juga bekerja, dia adalah seorang tukang kemah (KPR 18:23). Dia bekerja keras untuk mencukupi kebutuhan hidupnya (1 Kor 4:12).
Dengan tangannya sendiri: tangan = cheir (bahasa Yunani, yang  digunakan juga menggambarkan ‘tangan’ Allah yang bekerja menciptakan alam semesta dan segala isinya). Kita yang diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa Allah, diberikan kreativitas dan intelektualitas yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik. Manfaatkanlah semua potensi yang Tuhan sudah berikan itu sebaik mungkin dalam pekerjaan kita.  
Ada yang mengatakan jangan kerja keras, tapi kerja cerdas. Saya pikir dua hal tersebut saling melengkapi. Kalau kita membaca biografi orang-orang yang dikenal memiliki intelektual tinggi, misalnya dalam bidang sains, mereka adalah orang-orang yang ulet dan bekerja keras menggunakan kecerdasan mereka untuk memahami dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Dengan kecerdasan (kreativitas dan intelektualitas) yang Tuhan berikan disertai dengan ketekunan dan kesungguhan, kita akan menghasilkan suatu karya yang luar biasa melalui pekerjaan kita. Saat ini nampaknya semangat kerja keras dan cerdas ini mulai luntur dari bangsa kita ini. Orang maunya instan, tidak mau berpikir dan berusaha, maunya cepat kaya kadang dengan menghalalkan segala cara. Melalui kerja keras dan cerdas kita bisa menjadi inspirasi bagi orang-orang di sekitar kita.
Tujuan dari bekerja keras tadi adalah : supaya ia dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan. Saya pikir ini adalah hal yang luar biasa. Bekerja keras bukan untuk memenuhi hawa nafsu pribadi seperti orang yang tidak mengenal Allah, tetapi untuk bisa berbagi kepada yang berkekurangan. Saya pikir ini bisa dibilang juga sebagai semangat gotong royong. Yang bisa mengerjakan dan menghasilkan lebih, membantu yang kurang mampu. Bangsa kita kelihatannya saat ini juga mulai kehilangan hal ini. Entah mungkin keadaan yang semakin berat membuat orang makin egois, makin tidak bisa mempercayai orang lain.
Sebagai penutup, berkaitan dengan 17 Agustus 2015 – 70 tahun Indonesia merdeka, sumbangsih apa yang bisa kita berikan untuk bangsa ini. Saya pikir mulai dari bentuk yang ‘sederhana’, kita bisa melakukan apa yang Paulus tuliskan di atas. Di tengah kondisi yang sulit saat ini, marilah tidak korupsi, bekerja keras dan cerdas, untuk berbagi dan menginspirasi orang-orang di sekitar kita. Tuhan menyertai kita semua. Salam dan doa, halim, tf-94

11 July 2015

Ini murah atau mahal?

Pertanyaan klasik biasanya kalau orang belum mengenal harga barang. Entah karena sebelumnya belum pernah atau sudah lama tidak membeli barang tersebut, ataupun orang yang baru saja pindah ke suatu daerah baru. Jawabannya bisa beragam, tergantung orang yang menjawabnya, misalnya:
  1. Tipe langsung pada jawaban. Ini jawaban enak dan praktis, tidak merepotkan penanya maupun penjawab.
    • Oh murah ini. →  Masalah selesai, barang langsung dibeli.
    • Kemahalan itu.  → Jawaban ini membagi si penjawab menjadi 5 kategori:
      1. Tipe salesman. "Ayuk kuanterin ke toko langgananku, lebih murah di sana."
      2. Tipe penggemar diskonan. "Itu merk mahal, tunggu diskonan aja."
      3. Tipe petualang. "Itu mahal tapi nggak bagus-bagus amat. Aku udah coba pakai merk B, C, D, .... cobain aja satu-satu."
      4. Tipe fleksibel. "Durian mahal, gimana kalau beli jeruk aja?" atau, "Daun pisang mahal, pakai daun jeruk aja." Lho???
      5. Tipe mesin penjawab. Tidak ada solusi, cuma menjawab pertanyaan.
  2. Tipe dosen. Jawabannya bikin orang mikir keras kayak lagi kuliah: 
    1. Harga murah atau mahal itu tergantung dari mana kamu melihatnya. Apakah kamu mementingkan kualitas? Kalau barang bagus ya harganya pantas lebih tinggi, itu tidak mahal. Kalau kamu tidak mementingkan kualitas, ya kamu akan merasa harga itu terlalu mahal, toh ada yang lebih murah dengan fungsi yang sama. 
    2. Yang ke dua, apakah memang kamu memerlukan barang itu? Untuk sesuatu yang memang dibutuhkan, saya kira tidak ada yang terlalu mahal untuk dibeli. Harga yang kamu bayar akan berganti dengan peningkatan kualitas hidup. Tapi untuk barang yang tidak berguna, seribu rupiah pun menurut saya sudah terlalu mahal. 
    3. Yang ke tiga, sesuaikan dengan tingkat penghasilanmu. Makan di restoran setiap siang untuk orang-orang tertentu tidak mahal, tapi kalau kamu karyawan baru dengan gaji UMR ya sesuaikanlah. Mungkin saja tetap bisa, uangnya cukup, tapi apa nggak perlu menabung untuk hari depan?
    4. Yang ke empat, itu tergantung dari lokasi di mana kamu membelinya. Seikat sayur kangkung di Norwegia harganya sekitar 30 NOK adalah wajar. Karena mereka mengimpor sayuran semacam itu dari Asia. Dan untuk penghasilan rata-rata di sana, harga segitu terjangkau secara umum. Tapi kalau harga segitu diterapkan di Surabaya, sungguh amat sangat kemahalan bukan kepalang. Kamu tau kan berapa itu 1 NOK? Nah itu... bla-bla... wah dapet kuliah ekonomi nih.
    5. Yang ke lima, lihatlah bagaimana proses produksinya. Apakah mereka menggunakan bahan-bahan yang baik? Apakah mereka membuang limbah secara aman bagi lingkungan? Apakah mereka memperhatikan keselamatan dan kesejahteraan para karyawan? Kalau semua itu mereka lakukan dengan baik, maka harga tinggi sangat pantas untuk diterapkan. Tapi kalau mereka, misalnya, menggaji karyawannya saja secara tidak layak, maka berapapun harga barang yang mereka jual tidak layak kita bayar. 
    6. Yang ke enam, ...
 Ehm, makasih Pak. Anu, saya permisi dulu. Ada janji sama temen tadi. Itu, di ujung situ.